Rabu, 15 Juni 2011

Membenahi Demokrasi Pilkada

 Oleh: Prof. Dr. Syamsudin Haris, M.Si (Kepala Pusat LIPI Indonesia dan Sekjen PP AIPI)
 TTL: Bima, NTB, 17 Oktober 1957
       Tidak kurang dari 246 pemilihan umum kepala daerah (pilkada) diselenggarakan pada 2010 ini. Berbagai kontroversi muncul, mulai soal kandidat dari kalangan artis hingga para incumbent yang menyiasati undang-undang (UU) agar tetap bisa berkuasa sebagai kepala atau wakil kepala daerah.
Apa saja yang perlu dibenahi, apa pula yang harus diselamatkan? Ekspektasi publik tentang pilkada langsung yang diharapkan dapat memotong oligarki partai politik, mengurangi politik uang, dan menghasilkan pimpinan daerah yang lebih bertanggung jawab ternyata tidak seluruhnya benar. Pemerintah-pemerintah daerah hasil pilkada langsung tidak lebih baik ketimbang hasil pilkada tak langsung melalui DPRD.
Di sisi lain, oligarki parpol dalam pencalonan kepala daerah dan politik uang justru semakin menjadi-jadi dan merajalela. Partai-partai politik yang semula diharapkan dapat mencalonkan kader-kader terbaiknya ternyata tak lebih dari “broker” bagi para kandidat yang memiliki uang atau mereka yang sekadar populer.
Ironisnya, kepemilikan dana yang cukup ataupun popularitas sang kandidat acap kali menjadi satu-satunya faktor pengusungan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Akibatnya, soal-soal yang lebih substantif seperti kompetensi, integritas, kapabilitas, kepemimpinan, dan pemahaman minimum kandidat atas masalah tata-pemerintahan akhirnya menjadi prasyarat yang sering kali dianggap tidak relevan.
Tidak Benar
Peluang semacam inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh mereka yang tidak memiliki rekam jejak dalam kehidupan politik untuk turut berkompetisi dalam pilkada. Tidak mengherankan jika beberapa orang artis yang populer lantaran ”reputasi” sebagai bintang panas atau terkenal karena sering ”kawin-cerai” tiba-tiba saja berkeinginan menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Memang benar bahwa menjadi bupati, wali kota, gubernur, atau anggota legislatif merupakan hak politik setiap warga negara.
Juga benar bahwa parameter tertinggi dalam pemilu yang bersifat universal adalah kepercayaan konstituen atau publik kepada kandidat.Masyarakat pemilih atau publiklah yang pada akhirnya menilai siapa yang layak dan tidak layak untuk dipilih sebagai wakil ataupun pemimpin mereka. Namun, jelas tidak benar pula jika dikatakan bahwa tidak diperlukan pengaturan terkait syaratsyarat bagi para kandidat pejabat publik mengingat tanggung jawab mereka yang begitu besar.
Menjadi pejabat publik bukan sekadar merebut dukungan pemilih dan memenangi pemilu, termasuk pilkada, melainkan juga mengelola pemerintahan secara efektif,transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, persyaratan minimum bagi setiap pejabat publik tetap diperlukan, misalnya tidak cacat moral,mempunyai integritas, kepemimpinan,
dan manajerial, serta memiliki pemahaman minimal tentang tata-kelola pemerintahan. Yang menjadi soal sebenarnya bukanlah berbagai prasyarat tambahan tersebut, melainkan dokumen apa yang diperlukan oleh para kandidat sebagai bukti pendaftaran ke KPU daerah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Perlu Uji Publik

Oleh karena itu, selain sejumlah prasyarat minimum seperti dikemukakan di atas, para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah semestinya mengikuti semacam tahap uji publik sebelum melakukan kampanye.Pada tahap uji publik tersebut para kandidat diwajibkan untuk mengikuti debat terbuka yang diagendakan oleh KPU daerah setempat dengan panelis dari berbagai elemen masyarakat yang bersifat independen (nonpartisan).
Melalui tahap uji publik tersebut, masyarakat bisa menilai apakah kandidat kepala daerah atau wakil kepala daerah memiliki pemahaman minimum tentang tata-kelola pemerintahan atau sekadar bermodalkan popularitas dan uang belaka. Mekanisme uji publik semacam ini jelas lebih menjanjikan terpilihnya kepala daerah atau wakil kepala daerah yang kompeten ketimbang segudang prasyarat lain yang acap kali bisa pula dimanipulasi oleh para calon atau tim sukses mereka.
Disampingitu,melaluikewajiban tahap uji publik, para kandidat yang hanya bermodalkan popularitas dan uang mungkin akan berpikir ulang untuk turut serta dalam kompetisi pilkada. Sementara itu, parpol pun mau tidak mau didorong untuk benar-benar menyiapkan kader partai masingmasing sebagai kandidat dalam pilkada. Dengan demikian demokrasi pilkada pun tidak sekadar menjadi ajang pertaruhan kepentingan mereka tidak layak menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah.
Perlu Diselamatkan
Terlepas dari berbagai kekurangannya, tidak tepat pula kalau pilkada langsung yang diselenggarakan sejak 2005 hendak diganti dengan pilkada tak langsung seperti diusulkan Kementerian Dalam Negeri dalam draf RUU Pilkada. Berbagai masalah di balik kualitas para kandidat, degradasi peran parpol, dan kualitas pemda hasil pilkada belum tentu terkait dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah yang dianut oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena itu masalah pertama yang perlu diselamatkan terkait pilkada adalah mekanisme pemilihan langsung itu sendiri. Usulan ataupun wacana untuk mengubah pilkada langsung menjadi pilkada tak langsung, meski hanya untuk tingkat provinsi, bukanlah solusi yang tepat untuk mengefektifkan pemerintahan daerah.
Demokrasi pilkada bagaimanapun telah menjadi bagian dari perkembangan demokrasi lokal di negeri ini. Oleh karenanya pembenahan atas segenap prosesnya tetap harus dilakukan agar demokrasi pilkada pada akhirnya berkontribusi bagi peningkatan efektivitas pemerintahan, pelayanan publik,serta keadilan dan kesejahteraan rakyat.(*)